Yasinan, tahlilan, ziarah qubur, manaqiban dan lainnya adalah amaliah warga nahdliyyin sesuai jalan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Meski ada golongan yang membid'ahkan dan mengharamkan namun hadist Nabi tak mungkin berbohong.

   Di riwayatkan dari Anas bin Malik r.a, Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya setiap amal orang hidup akan diperlihatkan pada temannya dan orang tuanya yang sudah meninggal, apabila amalnya baik maka mereka akan bersyukur pada Allah swt dan berbahagia, dan apabila amalnya tidak baik maka mereka akan berkata : Ya Allah, jangan engkau ambil nyawanya sebelum engkau beri hidayah padanya".
   Kemudian Rasulullah menyambung katanya, "Orang yang sudah mati akan merasa sengsara seperti halnya masih hidup",
   Kemudian ada sahabat yang bertanya, "Apa yang membuat sengsara orang mati, ya Rasulallah?"
   "Sesungguhnya orang yang sudah mati sudah tidak lagi berbuat dosa, tidak lagi berselisih dan bertengkar pada satupun orang dan tidak lagi menyakiti tetangga, namun kecuali engkau lah yang menyakiti salah satu seseorang yang mana ia akan mengutukmu juga orang tuamu, disitu lah orang tuamu yang merasakan kesengsaraan disana. Begitu juga sebaliknya bahwa orang tuamu akan bahagia ketika engkau berbuat kebaikan", Jawab Rasulullah Saw.

   Alkisah
   Di zaman generasi tabi'ut tabi'in, ada seorang 'alim 'alamah yang bernama Tsabit Al Bunani. Ia mempunyai amalan yang diistiqomahkan, yaitu berziarah di kuburan dan bermunajat sampai subuh.
   Suatu saat ketika ia berziarah, ditengah munajatnya ia mengalami ngantuk berat, sehingga ia tertidur.  Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat semua ahli kubur di sekitarnya keluar dari kuburannya dengan keadaan memakai pakaian bagus-bagus dan dan dihidangkan makanan yang lezat-lezat. Kecuali satu seorang pemuda ahli kubur yang terlihat tidak bergembira, wajahnya pucat, rambut berantakan, matanya mengeluarkan air mata, pakaiannya jelek, tidak dihidangkan makanan dan terlihat sengsara sekali. Setelah para ahli kubur menikmati hidangan mereka semua kembali ke kuburannya masing-masing dengan bergembira, kecuali pemuda tadi, ia kembali dengan hati bersedih.
   Tsabit Al Bunani memanggil pemuda itu dan berkata, "wahai anak muda, siapa engkau di antara mereka? Mereka semua dihidangkan makanan lezat dan kembali dengan bergembira, namun engkau sebaliknya".
   Pemuda itu menjawab, "Aku hanyalah orang asing diantara mereka, tak ada seseorang yang berdzikir, berdo'a, berbuat baik dan bersodaqoh untukku, sedangkan mereka mempunya kerabat dan teman yang selalu berdzikir, berdo'a dan bersodaqoh yang pahalanya ditujukan pada mereka dan sampainya amal baik pada mereka, sedangkan dulu aku hanyalah pemuda yang sedang berangkat haji bersama ibuku, sesampai dikota ini Allah memungkasi hidupku dan ibuku memakamkan aku di sini, namu setelah itu ibuku menikah dengan orang lain dan kini lupa denganku untuk berdzikir, beramal baik, bersodaqoh yang pahalanya ditujukan padaku, sehingga aku disini sengsara setiap waktu dan masa".
   "Wahai pemuda, beritahu aku dimana ibumu sekarang?", Tanya Tsabit Al Bunani.
   Pemuda itu memberitahu, "ibuku sekarang di desa ini, rumah ini dan dengan keaadaan begini. Kabarkanlah, bila beliau tak mempercayaimu katakan bahwa di lengannya ada seratus misqol perak warisan dari ayah, yang haknya disodaqohkan dengan alamat ini". 
   Kemudian Tsabit Ak Bunani mencari ibunya dengan alamat yang diberitahu oleh pemuda yang sudah meninggal itu, sesampainya bertemu sang ibu Tsabit Al Bunani menceritakan keaadaan anaknya di alam kubur dan misqol perak yang dilengannya. Mendengar cerita itu sang ibu pun pingsan. Ketika sang ibu sudah sadar, ia memasrahkan perak yang ada dilengannya kepada Tsabit Al Bunani sebagai wakil untuk mensodaqohkan dan pahalanya ditujukan pada anak. Tsabit Al Bunani pun bergegas melakukannya.
   Malam Juma'at kemudiannya ketika Tsabit Al Bunani berziarah, ditengah munajatnya ia ketiduran lagi dan bermimpi seperti mimpi malam Jum'at sebelumnya, dan Tsabit Al Bunani melihat pemuda yang sebelumnya penuh sedih dan sengsara kini keluar dengan pakaian bagus, menghidang makanan lezat dan terlihat bergembira.
   Pemuda itu berkata pada Tsabit Al Bunani, "Wahai imamul muslimin, terima kasih, semoga Allah merahmatimu seperti halnya engkau belas kasih padaku".

   Maka jelas sekali bahwa seseorang yang sudah mati akan merasakan sengsara ketika anaknya atau kerabatnya berbuat keburukan, dan akan bergembira ketika anaknya atau kerabatnya berbuat kebaikan.